Nasib
Pemilik Warung di
Sekitar UMS Selama Masa Pandemi
Pandemi covid-19 tidak hanya menghilangkan banyak
nyawa, tetapi juga menghilangkan banyak mata pencaharian. Salah satu yang
mengalaminya adalah pemilik warung makan. Mereka terpaksa mengurangi gaji
karyawan, memecat karyawan hingga menutup warung makannya.
Hal ini di rasakan pula oleh sejumlah pemilik
warung di kawasan
kampus 1 UMS. Aseh (51), pemilik warung makan Salsa yang berada di Jl. Gatak III ini, awal masa pandemi warung nya masih berjualan, namun
karena sepinya pelanggan,
7 bulan terakhir warung Salsa
terpaksa tutup. Wanita bertubuh tambun ini bercerita mengenai kondisi
warungnya, dengan mata yang sedikit berkaca-kaca, “Iya biasanya warung saya ramai sama
mahasiswa, tapi sekarang ya mau gak mau harus tutup karena modalnya tidak ada
untuk membeli bahan masakan,” ujarnya saat ditemui di kediamannya (21/10/20).
Warung makan ini menjadi penghasilan utama Aseh dan keluarganya. Namun karena
pandemi, ekonomi Aseh hanya bertumpu pada penghasilan suaminya yang bekerja
sebagai tukang tambal ban serta anaknya yang bekerja di pabrik.
Kondisi rumah makan Salsa (21/10/20). Foto dokumen penulis
Nasib serupa juga dialami oleh
Rohmiati. Pemilik warung makan di Jl Gatak 1 ini, terpaksa menutup warung yang
sudah didirikannya selama 10 tahun karena tidak ada pembeli. Mei 2020, Rohmiati
berusaha melanjutkan bisnisnya, dengan cara pesan antar makanan. “warung saya
tidak buka, tapi saya sering buat status di whatsapp, isinya ya menu seperti
mie goreng, pecel lele, sop matahari, nasi goreng, teamlo”. Karena keterbatasan finansial, semula warung
makan ini memiliki 2 karyawan, tetapi di bulan Maret para karyawan ini terpaksa
diberhentikan. Akhirnya para karyawan mencari pekerjaan lain, salah satunya ada
yang beralih menjadi petani.
Warung makan Seleraku tutup saat pandemi. Foto dokumen
penulis
Sedikit berbeda dari Aseh dan Rohmiati, Warsilah
memilih untuk tetap membuka warungnya meski pendapatannya menurun. Pemilik
warung makan Po’we yang berada di Jl. Tanuragan ini, sudah
berjualan lauk dan nasi sejak 2015. Alasannya untuk tetap membuka warung makan
adalah ketiadaan mata pencaharian lain, di samping itu Warsilah juga harus
membayar sewa warungnya sebesar 18 juta/tahun.
Bahkan selama pandemi warung yang biasanya tutup sore buka hingga malam hari. “Ya, mau gimana lagi. Saya juga harus pintar putar
uang. Ya penghasilannya hanya cukup untuk makan, cicil kontrakan, dan modal
dagang lagi,” ungkap wanita berumur 50 tahun saat diwawancari di warungnya. Agar dapat terus berjualan, Warsilah
mengurangi dagangannya sesuai dengan modal yang ia miliki. “Saya harus cari sayur
yang murah tapi bagus. Terus saya juga belinya di tempat yang murah dekat
bandar asana. Kalau di pasar Kleco itu mahal.”
Wawancara pemilik warung makan Po’we yang sedang memasak
(21/10/20). Foto dokumen penulis.
Doni
(22) Karyawan di Burjo Warmindo Ambucuy,
mengaku gajinya tidak berkurang meski sedang pandemi. Warung makan yang berada
di Jl. Beo Raya Timur masih tetap buka, tidak ada pengurangan menu namum setengah karyawannya di PHK. “Iya
awalnya itu ada 8, pas pandemi secara bertahap pemilik warung memecat 4 orang karyawannya,” ungkap pria muda
berambut keriting itu (21/10/20).
Berbeda dari empat cerita di atas,
warung OPJ tetap buka dengan menu yang sama
banyaknya, bahkan pemilik warung mempertahankan
dan menaikkan gaji karyawannya. “Karyawan saya tetap 6, sebenarnya bisa saja
saya kurangi, tapi kasihan karena kan mereka juga butuh makan,” ujar Bu Endang saat ditemui dikediamannya. Biasanya
warung buka sampai pukul 14.00 WIB saat pandemi ini warung buka sampai pukul
21.00 WIB. Sistem kerjannya pun berbeda, saat ini karyawan bekerja dengan sistem
shift. Tiga karyawan kerja pukul 06.00 – 14.00 WIB, 3 lainnya bekerja mulai
pukul 14.00 – 21.00 WIB. Jika warung lain mengurangi gaji hingga memecat
karywan pemilik warung ini justru menaikkan gaji karyawannya. Sebelum pandemi
karyawan 5 ribu/jam sekarang mereka digaji 6 ribu/jam. Hal ini karena rasa
kasihan pemiliknya.
Meski berbeda kisah dan nasib, semua
pemilik warung makan memiliki harapan yang sama terkait covid-19. Mereka
berharap agar pandemi cepat usai dan semua kegiatan dapat berjalan normal. Dengan
demikian, mereka juga dapat memiliki finansial yang cukup untuk terus
melanjutkan hidup.
Alternatif Penjualan
Warung Makan saat Pandemi
Sebelum pandemi, rasanya jualan makanan via online sudah hal yang biasa. Namun,
baru-baru ini banyak pemilik warung makan yang awalnya hanya melayani jual beli
langsung, ikut pula menjual dagangannya secara online, baik dengan sistem ojol
(ojek online) atau pun DO
(delivery order). Sejumlah warung
makan ini di kawasan kampus 1 UMS pun banyak yang beralih menggunakan sistem
online.
Pendapatan melalui sistem ojek
online juga tidak menentu. Seperti yang dialami Warsilah, pemilik warung makan
Po’we. “orederan dari gojek pun tidak menentu. Sehari bisa Rp. 500.000 tapi
kadang juga hanya dapat Rp. 50.000.” ungkapnya saat tengah mempersiapkan
masakan untuk warungnya (21/10/20).
Pendapatan orderan ojek online ini, setidaknya mampu
untuk membantu finansial dari warung makan tersebut. Pekerja warung makan lain,
Doni (22), mengaku bahwa pendapatan saat pandemi ini bergantung pada pesanan
ojol, “Selama pandemi warung mengandalkan pendapatan dari Go-food”. Meskipun
demikian dirinya tetap bersyukur.
“Memang tidak banyak orderan seperti biasanya tetapi lumayan dari pada tidak
ada pendapatan sama sekali,” ungkap laki-laki yang bekerja di Burjo Warmindo Ambucuy tersebut.
Senasib dengan Burjo
Warmindo Ambucuy, warung makan OPJ
yang berada di Jl. Beo Raya Timur, juga mengandalkan penjualan melalui ojek
online, “Sebalum pandemi pun orderan dari Go-Food sangat ramai sekali,” kata
Endang pemilik warung makan OPJ saat
ditemui di kediamannya. Dia bercerita bahwa omset yang didapat tidak tentu
bahkan turun drastis, sehingga saat pandemi seperti sekarang warungnya
mengandalkan jasa ojek online.
Berbeda dengan tiga warung makan di atas, Aseh,
pemilik warung makan Salsa, justru
menutup total warungnya. Dia tidak mendaftarkan warung makannya di aplikasi
ojek online. Bukan tanpa alasan, Aseh sempat meminta anaknya untuk mendaftarkan
warungnya di Go-food, sayangnya, anaknya Aseh telat untuk mendaftar. “Mau
bagaimana lagi, kalau dipikir-pikir pakai ojek online juga sepi soalnya
mahasiswa juga belum balik ke kampus.” Ujar wanita 50 tahun tersebut.
Selain memanfaatkan ojek online dalam menjual
daganganya, cara berbeda dilakukan oleh Rohmiati. Pemilik warung makan Seleraku ini, justur memanfaatkan
whatsapp sebagai ajang mencari penghasilan. Dia menjajakan masakannya melalui
status whatsapp, “Ya saya jual delivery order begitu, saya unggah foto masakan
di status, kemudian kalau ada yang pesan, ya saya antar”. Cara ini sudah dilakukannya setelah
lebaran idulfitri 2020, agar tetap mendapatkan penghasilan.